Kamis, 29 Desember 2011
kisah instal computer hari jumat
Asli temank capek bgt cri sofware aja bwt komputer gw astaga capek bgt....cari2x muter2 g jelas buka sana buka sini...haduch...cerita aja bwt temen2 yg mw insta komputerx saran aja jgn sembarangan aja ma flasdisk yg mw di pake jgan sembarang tusuk aja...dapet sich sedikit tp g tw bsa g di coba drmh...mw pulang dlu ah....sambil post gambar ma tulis di blog nh......udh banyak yg berangkat shalat jumat..kyakx harus segera pulang nh......^^^^^^>>::::??""{{}}[[][][}{]
Sabtu, 24 Desember 2011
Dari Kisah Tugas
The Yuridic Problems of Regulate People’s Land Taking
For The Construction On The Public Utility
By: Frans Andhika Adyatma Putra
Law Faculty of Mulawarman University of Samarinda
The implementation of development is an effort to create a fair and prosperous public as national purpose which is the mandate of constitution. In development implementation, government faced problem in land availability. So, government often took people’s land. But, in the other hand, people’s land ownership was a right which is protected by constitutional too.
Since the development must go on, so, taking people’s land for implementing development, especially development of public facilities, was arranged in special rule. The rule of taking people’s land was changed many times (latest rule was Presidential regulations No, 65 year 2006/ Perpres No. 65 tahun 2006) accordance with the changes of government political power. The regulation was always controversial and it raised many pro and contra opinions. Moreover, in its implementation, social conflict with physically conflict usually occurred, even life victims can not be avoided. It also raised land speculator, collusion, bribing, and corruption. In result, it decreased of land owners’ prosperity or decelerated development and national purpose as well.
The main problem of taking people’s land was on its arrangement. Juridical arrangement problem of people’s land taking included formal and material aspects. The problem of formal aspect was on the inappropriate law product form.
The main problem of material aspect was on deciding public development mechanism which potentially taking people’s land, information access, and people involvement mechanism in development plan, unclear criteria of development for public, time limit of discussion for deciding the compensation, and inappropriate implementation of consignment.
Based on juridical arranging problem on people’s land taking for public development, it needed government political will for reforming the regulation of laws related to people’s land taking. So, it created participative and fairness law (responsive law) that supported participative development and minimize the problem in order to create fairness and prosperity of Indonesian people.
- Pendahuluan
Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia manusia membutuhkan tanah untuk tempat hidupnya. Secara kosmologis, tanah adalah merupakan suatu tempat dimana mereka tinggal, tempat dari mana mereka berasal dan akan kemana pula mereka pergi, dimana tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural dan politik.
Begitu pentingnya tanah, maka Jean Jacques Rousseau, menempatkan persoalan pemilikan tanah rakyat sebagai bagian dari teori kontrak sosialnya (social contract). Dalam menentukan hak atas sebidang tanah, penting dipertimbangkan siapa penghuni pertamanya. Secara hukum, kedudukan penghuni pertama diakui sebagai pemiliknya bilamana memenuhi persyaratan: pertama, tidak ada seorangpun yang menempati tanah tersebut sebelumnya; Kedua, tanah tersebut dikuasai hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan bukan untuk komoditi; Ketiga, proses pemilikan tidak ditentukan oleh sekedar upacara ritual, melainkan terdapat bukti atas pemilikan yang wajib dihormati oleh orang lain (Thontowi, 1999:32).
Kepemilikan tanah adalah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Internasional maupun hukum nasional. Dalam hukum Internasional, perlindungan hukm hak milik ini diatur dalam dalam DUHAM (deklarasi Umum Hak Asasi Manusia) pasal 17.1, pasal 17.2 dan pasal 30. Dalam hukum Internasional, perlindungan hukm hak milik ini diatur dalam dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat (4), dan UU HAM. Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945, yang intinya adalah ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”.
Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia (mewujudkan rakyat yang adil dan makmur), maka pembangunan adalah merupakan sebuah keniscayaan. Adapun untuk melaksanakan pembangunan selalu memerlukan tanah untuk diusahakan ataupun hanya sekedar sebagai tempat kegiatan proyek yang akan dibangun. Keperluan tanah untuk pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun oleh swasta semakin meningkat. Kondisi ini diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang cepat dan juga meningkatnya kebutuhan penduduk, yang tidak mampu diimbangi dengan suplai tanah karena tanah yang tersedia tidak berubah. Kondisi ini menimbulkan konsekuensi yang sangat serius terhadap pola hubungan antara tanah dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan manusia yang berobyek tanah.
Dalam rangka untuk melaksanakan pembangunan tersebut, idealnya, pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan tanah yang diperlukan, antara lain dari tanah negara yang tidak dikuasai oleh rakyat ataupun dengan dengan menyediakan bank tanah bagi kepentingan pembangunan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda sejak tahun 2003. Tetapi ternyata pemerintah tidak mampu memenuhi penyediaan tanah untuk memenuhi semua kebutuhan pembangunan tersebut, sehingga kemudian banyak pembangunan yang dilakukan harus mengambil tanah-tanah rakyat. Kondisi ini kemudian memunculnya konflik-konflik pertanahan yang ada di masyarakat. Konflik pertanahan belakangan menjadi isu nasional, karena jumlahnya yang tinggi dan juga sarat dengan kendala dalam penyelesaiannya.
Dari kasus diadukan ke Komnas HAM, kasus pertanahan menempati ranking yang tertinggi. Menurut Baharudin Lopa, ada empat masalah seputar pertanahan yang selalu diadukan orang ke Komnas HAM, yaitu: 1) soal sertifikat ganda atau tumpang tindih; 2) soal sengketa tanah; 3) soal pengambil-alihan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum; 4) kemudahan pemilikan sertifikat tanah bagi pengusaha real estate yang mengembangkan sawah pertanian dibandingkan petani penggarap yang sudah puluhan tahun berupaya memperoleh itu.
Menurut catatan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), ada enam corak sengketa tanah yang terjadi di Indonesia yang semuanya berhubungan dengan model pembangunan. Keenam corak tersebut adalah sebagai berikut:
- Sengketa tanah karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber-sumber yang akan dieksploitasi secara masif.
- Sengketa tanah sebagai akibat program swasembada beras yang dalam prakteknya mengakibatkan penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan dan membengkaknya petani tak bertanah, serta konflik-konflik yang bersumber pada keharusan petani untuk menggunakan bibit unggul dan masukan-masukan non organik seperti pestisida, pupuk urea dan sebagainya.
- Sengketa tanah di areal perkebunan, baik karena pengalihan dan penerbitan Hak Guna Usaha maupun pembangunan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan program sejenisnya, misalkan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).
- Sengketa akibat penggusuran tanah untuk industri pariwisata, real estate, kawasan industri, pergudangan, pembangunan pabrik dan sebagainya.
- Sengketa tanah akibat penggusuran-penggusuran dan pengambilalihan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan umum maupun kepentingan keamanan.
- Sengketa akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan taman nasional atau hutan lindung dan sebagainya yang mengatasnamakan kelestarian lingkungan.
Secara yuridis, pengambilan tanah rakyat untuk keperluan pembangunan ini dilakukan melalui mekanisme:
- pencabutan hak atas tanah. Dasar yuridis pengambilan tanah rakyat melalui mekanisme ini adalah ketentuan pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960), yang menyatakan bahwa: “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang". Sebagai pelaksana ketentuan pasal 18 UUPA maka dikeluarkanlah Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang berada di atasnya
- Melalui mekanisme pelepasan hak atas tanah, yang didasarkan pada prinsip sukarela. Istilah Pelepasan hak atas tanah ini ditinjau dari perspektif pemilik tanah, tetapi jika ditinjau dari yang membutuhkan tanah menggunakan istilah pembebasan tanah atau pengadaan tanah.
- Melalui tukar menukar tanah dan jual beli hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat.
Diantara tiga mekanisme pengambilan tanah rakyat tersebut, maka mekanisme melalui pelepasan hak atau pembebasan tanah atau pengadaan tanah adalah merupakan mekanisme yang paling sering menimbulkan konflik. Dasar yuridis pengambilan tanah rakyat melalui mekanisme ini, mengalami perkembangan dari setiap rejim pemerintahan, dari rejim pemerintahan orde lama yang dengan memakai UU Nomor 20 tahun 1961, Rejim Orde baru dengan menggunakan instrumen hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 15 tanun 1975 tentang Pembebasan Tanah dan kemudian diganti dengan Keputusan Presiden (Kepres Nomor 55 tanhun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, serta pada rejim reformasi diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang ditetapkan pada tanggal 3 Mei 2005. Sejak diundangkan, Perpres ini menuai banyak kritik dari masyarakat karena dianggap mengabaikan kepemilikan rakyat atas tanah. Karena banyaknya kritikan tersebut, maka kemudian pada tanggal 5 Juni 2006, beberapa pasal Perpres tersebut diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pengaturan dan pelaksanaan pengmbilan tanah rakyat bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum diprediksi kurang melibatkan pemilik tanah (demokratis), kurang transparan, yang menyebabkan terjadinya korupsi, memunculkan spekulan tanah dan menurunnya tingkat kesejahteraan pemilik tanah, sehingga dirasakan sebagai bentuk ketidakadilan bagi pemilik tanah yang telah berkorban untuk melepaskan tanahnya, yang kemudian menimbulkan konflik terbuka ataupun potensial, bahkan sampai memakan korban jiwa.
- Perlindungan Hukum Pemilikan Tanah
Di Indonesia, Penguasaan tanah tertinggi ada pada negara sebagaimana ketentuan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3). Penguasaan negara disini adalah berdimensi publik, yaitu memberi kewenangan kepada negara untuk: Mengatur & menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan Bumi, Air dan Ruang Angkasa (BARA); Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan BARA; Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai BARA (lihat ketentuan pasal 2 Undang-Undang (UU) nomor 5 tahun 1960).
Adapun pemilikan dan/atau penguasaan tanah secara privat, bisa dipunyai oleh individu (Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing), persekutuan hukum adat (masyarakat adat), badan hukum (Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Koperasi Indonesia) dan juga negara (instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah).
Warga Negara Indonesia (WNI) dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) dan Hak Sewa Untuk Bangunan (HSB). Masyarakat adat dapat mempunyai tanah dengan Hak Ulayat, yang dimiliki secara kolektif dan yang telah dimiliki jauh sebelum pemerintahan kolonial di Indonesia. Adapun Warga Negara Asing (WNA) dan Badan Hukum Asing dapat mempunyai tanah dengan HP saja. Badan Hukum Indonesia dapat mempunyai tanah dengan HGU, HGB dan HP. Dan Negara hanya bisa mempunyai dengan Hak Pengelolaan (HPL). Yang dimaksud dengan kepemilikan tanah rakyat dalam penelitian ini adalah hak atas tanah yang dipunyai oleh WNI dan masyarakat adat.
Kepemilikan tanah rakyat adalah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Internasional maupun hukum nasional. Dalam hukum Internasional, hak milik ini diatur dalam dalam DUHAM (deklarasi Umum Hak Asasi Manusia), yaitu:
- Pasal 17.1: “Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain”.;
- pasal 17.2: “Tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara sewenang-wenang”;
- pasal 30: “Tidak ada satu ketentuanpun dalam deklarasi ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan hak pada suatu negara, kelompok atau orang, untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebasan-kebebasan apapun yang diatur di dalam deklarasi ini”.
Di Indonesia perlindungan kepemilikan tanah rakyat diatur dalam dalam:
- UUD 1945, yaitu:
- Pasal 18 B tentang pengakuan hak ulayat masyarakat adat (Wiryani dalam Jurnal Legality vol. 12 no 2 Sept 2004: 234)
- pasal 28 G ayat (1), yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yng merupakan hak asasi”
- pasal 28 H ayat (4), yang berbunyi “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”
- pasal 28 I ayat (3), yang berbunyi ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” (Wiryani dalam Jurnal Legality vol. 12 no 2 Sept 2004: 234)
- TAP-MPR.RI Nomor IX tahun 2001 pasal 4 butir j yang mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat serta pasal 5 butir b, yang berbunyi “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. (Wiryani dalam Jurnal Legality vol. 12 no 2 Sept 2004: 236-237)
- Perlindungan hukum kepemilikan tanah rakyat diatur dalam UU nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), pasal 2 tentang pengakuan dan perlindungan negara terhadap HAM; pasal 6 ayat (1) dan (2) tentang pengakuan dan perlindungan hak ulayat; pasal 29 ayat (1) tentang perlindungan terhadap hak milik; pasal 36 ayat (1) dan (2) tentang hak milik sebagai hak asasi dan jaminan tidak adanya perampasan secara sewenang-wenang atas hak miliknya; pasal 37 ayat (1) tentang syarat mencabut hak milik adalah untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti rugi dan harus berdasarkan UU; menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”. (Wiryani dalam Jurnal Legality vol. 12 no 2 Sept 2004: 241)
Berdasarkan ketentuan dalam perlindungan hukum kepemilikan hak milik tersebut bisa disimpulkan bahwa kepemilikan tanah rakyat (yang dipunyai oleh WNI maupun hak ulayat yang dipunyai oleh masyarakat adat) adalah termasuk bagian dari kepemilikan harta benda yang itu merupakan hak asasi harus dilindungi. Pengambilan tanah rakyat oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang, walaupun dengan dalih untuk kepentingan umum. Kalaupun terpaksa tanah rakyat harus diambil bagi pembangunan untuk kepentingan umum, maka pengambilan tersebut haruslah didasarkan pada Undang-Undang dan dengan memberikan ganti rugi yang layak.
- Mekanisme dan Dasar Hukum Pengambilan Tanah Rakyat Untuk Pembangunan
Secara yuridis, pengambilan tanah rakyat untuk keperluan pembangunan ini bisa dilakukan melalui mekanisme:
- Pencabutan hak atas tanah.
Dasar yuridis pengambilan tanah rakyat melalui mekanisme ini adalah ketentuan pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960, selanjutnya disebut UUPA), yang menyatakan bahwa: “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang". Serta pasal 27, pasal 34, dan pasal 40 UUPA, yang mengatur tentang hapusnya HM, HGU dan HGB, antara lain karena dicabut untuk kepentingan umum.
Sebagai pelaksana ketentuan pasal 18 UUPA maka dikeluarkanlah Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang berada di atasnya. UU ini merupakan pengganti dari Staatsblad 1920 No. 574, yang terkenal dengan sebutan "Onteigenings-ordonnantie", dimana Ordonansi tersebut telah beberapa kali diubah dan ditambah, yang terakhir dengan Staatsblad 1947 No. 96. Pertimbangan membuat UU Pencabutan Hak Atas tanah ini adalah untuk menyesuaikan dengan perubahan keadaan dan keperluan, karena Onteigeningsordonnantie tidak sesuai lagi dengan keperluan dewasa ini. Peraturan tersebut disusun atas dasar pengertian hak "eigendom" yaitu hak perseorangan yang tertinggi menurut hukum barat yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu Onteigenings-ordonnantie memuat ketentuan-ketentuan yang memberi perlindungan yang berlebih-lebihan atas hak-hak perseorangan. Berhubung dengan itu maka untuk mengadakan pencabutan hak menurut ordonansi tersebut harus dilalui jalan yang panjang dan diperlukan waktu yang lama, karena harus melalui, baik instansi legislatip, eksekutip maupun pengadilan.(disarikan dari Penjelasan Umum Butir (3) dari UU 20/1961)
- Melalui mekanisme pelepasan hak atas tanah.
Istilah Pelepasan hak atas tanah ini ditinjau dari perspektif pemilik tanah, tetapi jika ditinjau dari yang membutuhkan tanah menggunakan istilah pembebasan tanah atau pengadaan tanah. Mekanisme pelepasaan hak atas tanah ini didasarkan pada prinsip sukarela.
Yang dimaksud dengan Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Dasar yuridis pengambilan tanah rakyat melalui mekanisme pelepasan ha atau pembebasan tanah (pengadaan tanah) adalah pasal 27, pasal 34, dan pasal 40 UUPA, yang mengatur tentang hapusnya HM, HGU dan HGB, antara lain karena tanahnya dilepaskan oleh pemiliknya. Kemudian pada masa orde baru, mulai diatur ketentuan tentang tata cara pembebasan tanah yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 15 tanun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah dan kemudian diganti dengan Keputusan Presiden (Kepres Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, serta pada rejim reformasi diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang ditetapkan pada tanggal 3 Mei 2005. Sejak diundangkan, Perpres ini menuai banyak kritik dari masyarakat karena dianggap mengabaikan kepemilikan rakyat atas tanah. Karena banyaknya kritikan tersebut, maka kemudian pada tanggal 5 Juni 2006, beberapa pasal Perpres tersebut diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
- Melalui tukar menukar tanah dan jual beli hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat.
- Problematika Pengambilan Tanah Rakyat Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Diantara tiga mekanisme pengambilan tanah rakyat tersebut, maka mekanisme melalui pelepasan hak atau pembebasan tanah atau pengadaan tanah adalah merupakan mekanisme yang paling sering menimbulkan konflik. Problematika yuridis dalam pengambilan tanah rakyat bagi pembangunan untuk kepentingan umum ini meliputi dua hal, yaitu:
- Aspek yuridis formil, yaitu jika ditinjau dari bentuk perundangan (produk hukumnya) hanya berupa Peraturan Presiden (Perpres) atau Keputusan Presiden, bahkan Peraturan Menteri. Padahal muatan materi yang diatur adalah pengambilan tanah rakyat, dimana kepemilikan tanah rakyat adalah merupakan hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Semestinya, berdasarkan ketentuan dalam pasal 8 UU nomor 10 tahun 2004, pengaturan pengambilan tanah rakyat haruslah dalam bentuk produk hukum undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal 11 UU 10/2004, muatan materi Perpres adalah materi yang diperintahkan UU atau untuk melaksanakan PP.(disarikan dari: UU HAM; UU 10/2004; PHBI dalam www.phbi.or.id tanggal 9 Nopember 2005; Kondarus Jurnal keadilan vol. 4 no. 3, 2006:29-32; dalam Sumardjono, 2007:91-92; Sumardjono, 2008:281-282; Sutedi, 2007:230; Widjoyanto, dalam Jurnal keadilan vol.4 no. 3:32; Jurnal keadilan vol.4 no. 3, 2006:4; )
- Aspek maeriil, yang meliputi:
- Kaburnya kriteria pembangunan untuk kepentingan umum, sehingga mendorong terjadinya kolusi antara pemerintah dengan investor (disarikan dari Sumardjono, 2007:72-75 dan 102-103; Sumardjono, 2008:284-288; Kalo dalam Jurnal Keadilan vol 24 no 1, 2005:88; Jurnal keadilan vol.4 no. 3, 2006:2-3; Sutedi, 2007:154-226; Fajrimei A Gofar dalam http://www2.kompas.com, 20-09-2005; http://www.walhi.or.id/kampanye/psda/050920_perpres-tnhawu/, tanggal 20-09-2005; http://www.opensubscriber.com, 19-05-2005; http://www.solusihukum.com, 21-05-2005)
- Tidak diaturnya mekanisme penentuan pembangunan untuk kepentingan umum yang berpotensi mengambil tanah rakyat, sehingga terkesan bersifat top down dari pemerintah semata
- Tidak diaturnya akses informasi bagi masyarakat terkait dengan rencana pembangunan untuk kepentingan umum. Kondisi ini mengakibatkan pelaksanaan pembangunan yang tidak partisipatif bahkan terkadang ditolak rakyat.
- Mekanisme pengambilan tanah yang tidak melibatkan pemilik tanah sejak awal. Pemilik tanah hanyalah dilibatkan pada saat musyawarah penentuan ganti kerugian belaka.
- Keberadaan panitia pengambilan tanah yang hanya dari unsur pemerintah saja, sehingga cenderung tidak netral tetapi cenderung memihak kepada pemerintah/pemerintah daerah yang membutuhkan tanah. Padahal panitia ini sifatnya sangat strategis, karena sebagai penentu nilai ganti rugi kepada pemilik tanah. (Jurnal keadilan vol.4 no. 3, 2006:2-3; Sumardjono, 2007:104-105; www.suarapembaharuan.com/News/2005/06/09/Utama/ut01.htm)
- Pembatasan waktu dalam proses musyawarah penentuan ganti rugi, terkesan hanya mementingkan aspek formalitas/prosedural belaka dan mengabaikan esensi musyawarah. (Jurnal keadilan vol.4 no. 3, 2006:2-4)
- Yang diberikan ganti-rugi hanyalah yang bersifat fisik belaka (tanah, tanaman dan bangunan) adapun yang bersifat non fisik tidak diperhitungkan. Hal ini berakibat pada menurunnya tingkat kesejahteraan pemilik tanah. Dan ini adalah salah satu bentuk ketidak adilan bagi pemilik tanah yang telah mengorbankan harta miliknya bagi pembangunan untuk kepentingan umum. (Jurnal keadilan vol.4 no. 3, 2006:3; Sumardjono, 2007: 87-89 dan 103-104; Sumardjono, 2008:261-262)
- Tidak diaturnya bentuk dan mekanisme ganti rugi dalam pengambilan tanah ulayat (Kalo dalam Jurnal Keadilan vol 24 no 1, 2005:88)
- Tidak tepatnya penerapan lembaga konsinyasi (penawaran pembayaran sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 1404 KUHPerdata) dalam pemberian ganti rugi pada pemilik tanah yang tidak menyetujui bentuk dan besarnya ganti rugi yang ditetapkan. Mestinya lembaga konsinyasi ini hanya bisa diterapkan dalam hubungan hukum keperdataan, yang sebelumnya didahului adanya perjanjian antara para pihak. Sedangkan dalam pengambilan tanah rakyat ini hubungannya adalah hubungan administratif antara negara dengan rakyat. (Jurnal keadilan vol.4 no. 3, 2006:3-4; Kondarus Jurnal keadilan vol. 4 no. 3, 2006:29-30; Sumardjono, 2007:105-106)
Buku Referensi:
Bakri, Muhammad, 2002, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Jakarta: PT. Buku Kita
Bachsan Mustafa, SH., 1985, Hukum Agraria Dalam Perspektif Perundang-undangan, Bandung: Remadja Karya.
Boedi Harsono, Prof., 1996, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta.
Fakih, Mansour, 1995, Tanah, Rakyat dan Demokrasi, Yogyakarta: Forum LSM-LPSM DIY
Hayati, Sri, 2003, Pengaturan Hak Atas Tanah Dalam Kaitannya Dengan Investasi, Surabaya: Disertasi PPs. Universitas Airlangga
John Salindeho, 1991, Manusia, Tanah, Hak dan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Lounela, Anu dan R. Yando Zakaria, 2002, Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Jakarta: kerjasama Insist dan KARSA
Mahendra, Oka dan H. Hasanudin, 1997, Tanah dan Pembangunan, Jakarta: Pustaka Manikgeni
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta:Prenada Media
Noor, Aslan, 2003, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran HAM, Bandung: Disertasi PPs. Universitas Pdjadjaran
Parlindungan AP., SH. Prof. DR., 1993, Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung.
Sumardjono, Maria S.W., 2007, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Sumardjono, Maria S.W., 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Sutedi, Adrian, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika
Titahelu, Ronald Z., 1993, Penetapan Asas-asas Hukum Umum Dalam Penggunaan Tanah Untuk Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat, Surabaya: Disertasi PPs. Universitas Airlangga
Wiryani, Fifik, 2004, Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam, Malang: Tesis PPs. Universitas Brawijaya
Jurnal:
Endrawati, Netty, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Nasional Menurut Kepres No. 55 Tahun 1993 Juncto Kepres No. 34 Tahun 2003, dalam Jurnal Ilmiah Hukum LEGALITY volume 12 nomor 2 2004/2005, Malang: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
Kalo, Syafruddin, 2005, Reformasi Peraturan dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Dalam Jurnal Hukum Bisnis volume 24 nomor 1 tahun 2005, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis
Kondarus, Quo Vadis Perpres No. 36 Tahun 2005, Dalam Jurnal Keadilan vol. 4 No. 3, tahun 2005/2006, Jakarta: Pusat Kajian Hukum dan Keadilan
Tim Redaksi, Tanah Untuk Kepentingan Umum, Dalam Jurnal Keadilan vol. 4 No. 3, tahun 2005/2006, Jakarta: Pusat Kajian Hukum dan Keadilan
Wiryani, Fifik, Implikasi Pengaturan Hak Masyarakat Adat Di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Ambiguitas dan Tidak Sinkron, dalam Jurnal Ilmiah Hukum LEGALITY volume 12 nomor 2 2004/2005, Malang: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar 1945
Ketetapan MPR-RI Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya alam
UU nomor 10 tahun 2004
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) nomor 15 tahun 1975 tentang Pembebasan Tanah
Keputusan Presiden (Kepres Nomor 55 tanhun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Peraturan Presiden (Perpres) nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Perpres Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Internet
Gofar, Fajrimei A., Perpres No. 36 Tahun 2005: Melegalkan Penggusuran Paksa?, dalam www.kompas2.com
www.bkpi.lipi.go.id
www.digilib.itb.ac.id
www.indomedia.com
www.jaktim.beritajakarta.com
www.kaltimpost.web.id
www.opensubscriber.com
www. Pikiran-rakyat.com
www.perpustakaan.bappenas.go.id
www.republika.co.id
www.suaramerdeka.com
www.suarapembaharuan.com
www.walhi.or.id
Sebuah Cerita Anak Manja
Dari semua cerita nh yang banyak buat insirasi buat gw tw gmna y....kalo dilihat sedikit cool n no problem n this lifex....
Sebuah Blog buat Artikan Kehidupan Kita
Ada sebuah Kisah dalam sehari-hari sering kita lakukan, dalam hal ini semua pasti pernah bercerita namun hanya disini aku dapat bercerita...
Langganan:
Postingan (Atom)