Analisa Kasus tentang Pembukaan lahan di sejumlah daerah-daerah Pesisir dan Pedalaman Sanggata
Oleh :
Frans Andhika AP[1]
Ringkasan / Summary :
Pesisir merupakan wilayah yang memiliki beranekaragam sumber daya alam yang dapat dijadikan sebagai salah satu mata pencarian para penduduk, namum dalam kenyataannya masih sering disalah gunakan oleh masyarakat yang tinggal didaerah pesisir terutama masalah kepemilikan lahan. Dalam hal ini dikarenakan ketidakteraturan tentang penanganan wilayah-wilayah yang terdapat di daerah pesisir oleh pemerintah, selain itu juga dengan adanya perusahaan atau kelompok pemilik modal/investor yang memanfaatkan daerah disekitar wilayah pesisir untuk kepentingan individu sendiri dengan mencari keuntungan yang mengakibatkan masyarakat didaerah pesisir melakukan hal tersebut.
Keyword / kata kunci : Pesisir, Batas-batas Wilayah Pesisir, Kasus
A. Pendahuluan
Wilayah Pesisir dan lautan
Wilayah pesisir dan lautan dari konsep wilayah bisa termaksuk dalam keempat jenis wilayah tersebut. Sebagai wilayah homogeny, wilayah pesisir merupakan wilayah yang memproduksi ikan, namun bias juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduknya yang tergolong dibawah garis kemiskinan.[2]
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia.. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah.[3]
Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir Di masa lalu, paradigma pembangunan lebih memprioritaskan masyarakat perkotaan dan pertanian pedalaman, sedangkan masyarakat pesisir kurang diperhatikan. Sudah saatnya memang paradigma tersebut dirubah dengan memberikan perhatian yang sama terhadap masyarakat pesisir karena mereka juga adalah warga negara Indonesia. Konsekuensinya, justru masyarakat pesisir perlu mendapatkan perhatian khusus karena ketertinggalan mereka akibat paradigma masa lampau. Yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat pesisir.[4]
Secara teoritis, batasan wilayah pesisir dapat dijelaskan dengan menggunakan 3 pendekatan yaitu pendekatan ekologis, pendekatan perencanaan dan pendekatan administratif.
Berdasarkan pendekatan secara ekologis, wilayah pesisir merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan seperti pasang surut dan instrusi air laut dan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan, seperti sedimentasi dan pencemaran. Ditinjau berdasarkan pendekatan dari segi perencanaan, wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumber daya yang difokuskan pada penanganan suatu masalah yang akan dikelola secara bertanggung jawab. Pemberian kewenangan daerah mengelola sumber daya di wilayah laut meliputi pengaturan tata ruang sebagaimana Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang.[5]
Jadi tata ruang wilayah pesisir merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Dengan melihat batasan wilayah pesisir sebagaimana dalam Pasal 2 UU Nomor 27 Tahun 2007, pengaturan tata ruang wilayah laut kewenangan daerah selebar 12 mil laut merupakan bagian dari tata ruang wilayah pesisir. Perlunya pengaturan tata ruang di wilayah pesisir sebagai konsekuensi dari dinamika pesisir yang dapat merusak ekosistem.[6]
Pada tingkat minimum, batas wilayah harus didasarkan kepada perencanaan dan keilmuan yang sesuai untuk mengawasi penggunaan yang berpengaruh atau mungkin berpengaruh terhadap wilayah perencanaan sumber daya pesisir.[7]
Menurut kesepakatan internasional, wilayah pesisir sendiri didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua atau landas kontinen (continental shelf).
B. Permasalahan
1. Bagaimanakah aturan yang berlaku dalam hukum pesisir terkait batasan-batasan tentang letak wilayah pesisir dan daratan ?
2. Bagaimanakah pengelolaan di daerah pesisir sanggata yang seharusnya dilakukan oleh masyrakat, berhubungan dengan pembukaan lahan di sekitar wilayah pesisir ?
C. Pembahasan dan Analisa
1. Pembahasan
Untuk kasus Indonesia, batasan wilayah pesisir yang merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut ialah: ke arah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin.[8]
Sementara ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.[9]
Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.480 pulau, panjang garis pantai mencapai 95.181 km serta luas wilayah laut mencakup 70 persen dari total luas wilayah Indonesia.[10]
Disepanjang garis pantai ini terdapat wilayah pesisir yang relatif sempit memiliki potensi sumber daya alam hayati dan non hayati, sumber daya buatan serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat.[11]
Namun, wilayah pesisir juga rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Memanfaatkan wilayah pesisir dengan berbagai kelebihan sumber daya yang dimiliki maupun memiliki rentan terhadap kerusakan membutuhkan perencanaan dalam mengelolanya. Keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi.[12]
Di Indonesia Pengelolaan Sumberdaya berbasis Masyarakat sebenarnya telah ditetapkan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan negara atas sumberdaya alam khususnya sumberdaya pesisir dan lautan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak, dan juga harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan sekaligus memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan desa-desa pantai.[13]
2. Analisa
Batas wilayah pengelolaan sumber daya di wilayah laut tidak ditafsirkan batas yuridiksi seperti dalam halnya dalam batas perbatasan antar negara. Ini artinya batas wilayah pengelolaan jangan sampai dimaknai seperti batas wilayah kedaulatan. Penetapan kewenangan daerah di wilayah laut selebar 12 mil laut tidak diartikan sebagai pengkaplingan laut, tetapi lebih kepada penetapan batas kewenangan dalam melaksanakan desentralisasi untuk pengelolaan, antara lain untuk eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengaturan pemanfaatan, penataan ruang dan penegakan hukum dalam wilayah laut tersebut.[14]
Batas wilayah pengelolaan laut kewenangan daerah selebar 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota merupakan batasan secara administratif. Pengertian batasan laut tersebut merupakan batasan wilayah pesisir secara administratif juga. Secara administratif, wilayah pesisir Indonesia akan tercakup ke dalam keseluruhan wilayah laut yang berada di bawah kewenangan pengelolaan dari semua yaitu 33 daerah Provinsi di Indonesia, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004.[15]
Demikian pula akan mencakup sebagian besar daerah Kabupaten/Kota di Indonesia yang memiliki wilayah pesisir. Jadi lebar batasan wilayah laut sampai 12 mil laut sama dengan batasan wilayah pesisir (ke arah laut) secara administratif. Untuk kepentingan secara praktis dalam lingkup nasional Indonesia, terdapat pula kesepakatan mengenai batasan wilayah pesisir yaitu bahwa batas ke arah laut suatu wilayah pesisir adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat pada Peta Lingkungan Pantai Indonesia yang berskala 1 : 50.000, yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. Untuk memberikan kejelasan ruang lingkup pengertian wilayah pesisir Indonesia telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Batasan wilayah pesisir menurut Pasal 2 UU Nomor 27 Tahun 2007 menegaskan bahwa ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai.[16]
D. Kesimpulan
Dalam Implementasinya, pola pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang selama ini sangat bertentangan dengan apa yang telah digariskan dalam pasal tersebut, pelaksanaannya masih bersifat top down , artinya semua kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan mulai dari membuat kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal, padahal apabila dilihat karakteristik wilayah pesisir dan lautan baik dari segi sumberdaya alam maupun dari masyarakatnya sangat kompleks dan beragam, sehingga dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan seharusnya secara langsung melibatkan masyarakat local Atas dasar tersebut dan dengan adanya kebijakan pemerintah Republik Indonesia tentang Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, maka sudah semestinya bila pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat lokal baik dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, sehingga mampu menjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat lokal serta kelestarian pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut.
E. Daftar Pustaka
1. Buku
Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan, (Jakarta: PT Pradya Paramita, 2005).
Rudy C Tarumingkeng,, (2001) Pengelolaan Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan.
Setyawanta R., Buku Ajar Pokok-Pokok Hukum Laut Internasional. (Semarang : Pusat Studi Hukum Laut Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2005).
Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, Departemen Kalautan dan Perikanan, Jakarta, 2001, Bab I.
Robinson Tarigan, Perencanaan Pengembangan Wilayah, Edisi Revisi, (Jakarta : Bumi Aksara: 2005).
2. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
3. Dokumen Hukum, Hasil Penelitian, Tesis dan Disertasi
Arifin Rudyanto, Kerangka Kerjasama Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, disampaiakan pada Sosialisasi Nasional Program MFCDP, 22 September 2004.
Kausar AS, Investasi di Pulau-Pulau Kecil dan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Ceramah Dirjen Otonomi Daerah pada Acara Seminar Nasional Topik: “Investasi Asing dan Kedaulatan Bangsa di Pulau-Pulau Kecil” diselenggarakan Komunitas Wartawan Kelauatan dan Perikanan (Komunikan), Jakarta 17 April 2006.
Lampiran
Monday, 09 January 2012 15:47 administrator
Sangatta - Masalah pertanahan sepertinya menjadi persoalan yang menjadi perhatian penting dari Bupati Kutai Timur Isran Noor, hal ini dikarenakan sebagai sebuah kabupaten yang akan terus berkembang tentu mempengaruhi kebutuhan lahan untuk berbagai proyek-proyek besar yang diharapkan mampu menjadi sarana percepatan pembangunan di bidang ekonomi.
Dari pantauan yang dilakukan oleh Isran Noor ke sejumlah daerah-daerah pesisir dan pedalaman, nampak warga banyak membuka lahan di sejumlah kawasan yang dianggap belum dimiliki atau tidak berpenghuni untuk kemudian dijadikan sebagai aset pertanahan milik individu atau kelompok.
Hal ini perlu dilakukan pendataan mendasar oleh Badan Pengelolaan Lahan dan Tata Ruang (PLTR), agar kemudian kegiatan pembukaan lahan dengan motivasi untuk mendapatkan keuntungan dari proyek pembangunan apabila dilakukan ganti-rugi lahan tidak menjadi ajang bisnis atau pengerukkan keuntungan pribadi.
Ekspektasi masyarakat yang begitu maju dan berkembang membuat mereka tidak lagi taat pada aturan yang berlaku, sehingga bisa dilihat dari munculnya berbagai kasus tumpang-tindih kepemilikkan lahan. hal tersebut adalah bukti nyata dari ketidaktertiban masyarakat dalam melakukan administrasi pertanahan, untuk itu pendataan perlu segera dilakukan agar dikemudian hari tidak menimbulkan masalah yang serius. selain itu pemilik lahan wajib untuk membayar pajak atas tanah yang dimilikinya.
(ronall djawarsa/na)
[1] Frans Andhika AP Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, 0810015162, Mata kuliah Hukum Pesisir, Semester VII.
[2] Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan, (Jakarta: PT Pradya Paramita, 2005), hal 2.
[3] Ibid
[4] Rudy C Tarumingkeng,, (2001) Pengelolaan Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan.
[5] Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004
[6] Ibid
[7] Setyawanta R., Buku Ajar Pokok-Pokok Hukum Laut Internasional. (Semarang : Pusat Studi Hukum Laut Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2005), hlm. 30.
[8] Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, Departemen Kalautan dan Perikanan, Jakarta, 2001, Bab I, Hlm.5.
[9] Ibid
[10] Arifin Rudyanto, Kerangka Kerjasama Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, disampaiakan pada Sosialisasi Nasional Program MFCDP, 22 September 2004.
[11] Robinson Tarigan, Perencanaan Pengembangan Wilayah, Edisi Revisi, (Jakarta : Bumi Aksara: 2005). hlm. 111.
[12] Ibid
[13] Pasal 33 Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
[14] Kausar AS, Investasi di Pulau-Pulau Kecil dan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Ceramah Dirjen Otonomi Daerah pada Acara Seminar Nasional Topik: “Investasi Asing dan Kedaulatan Bangsa di Pulau-Pulau Kecil” diselenggarakan Komunitas Wartawan Kelauatan dan Perikanan (Komunikan), Jakarta 17 April 2006.
[15] Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar